Wednesday, November 18, 2009

Bacalah Artikel Pilihan : Syakhsiah Kader Dakwah

Hidup merupakan perjuangan, berjuang untuk menunaikan tugas dakwah yang mulia. Tugas yang tak pernah usai seiring perjalanan waktu. Malah semakin bergulirnya waktu semakin bermunculan tugas baru. Sebagaimana komentar seorang pujangga, ‘terbitnya fajar, merekahkan harapan cerah dan membawa sekelumit beban’. Akan tetapi bagi seorang aktivis dakwah waktu menjadi jalannya kehidupan. Sehingga kader dakwah selalu menata waktunya demi kehidupan yang ia jalani agar senantiasa siap menyongsong tugas yang ada dihadapannya.

Bukanlah sesuatu yang dipungkiri bahwa tugas dakwah memang bukanlah tugas yang ringan. Ia banyak liku dan kendala yang rumit. Baik dari pihak eksternal ataupun dari internal sendiri. Terkadang tugas dakwah menjadi beban berat untuk dipikul. Terlebih lagi bagi mereka yang berkepribadian rentan dan rapuh. Tugas itu menjadi tembok besar yang teramat sulit untuk dilewati. Mereka akan berkecil hati menatap tugas demi tugas. Terasa berat untuk menggerakan kaki dan tangan menerima tugas tersebut.

Namun tidak demikian bagi kader pilihan. Mereka akan berupaya maksimal untuk dapat menunaikan tugas mulia itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan kader yang berkepribadian amal da’awy akan menyongsongnya dengan gembira. Tidak ada dalam diri mereka, kamus lelah dan ciut menyambut tugas. Karena tugas itu akan menjadi momen untuk mengukir sejarah hidupnya dengan tinta emas bagi kemenangan dakwah ini. Ia menjadi mulia bersama dakwah atau mati dengan keharuman sikap perilakunya dalam amal Islam.

Ketika Syaikh Mutawalli Sya’rawi menyampaikan pidatonya dalam suatu acara, bahwa amanah umat ini teramat berat. Karena kompleksitas masalah yang dihadapinya. Dan disertai penghalangnya dari musuh-musuh umat yang tidak pernah henti untuk menghancurkannya. Disamping itu kader dakwah yang memandu amanah ini sulit untuk didapatkan. Maka kepada siapa amanah umat ini diserahkan?. Hasan Al Banna bergumam dalam hatinya ketika mendengar ceramah sang Syaikh, ‘aku ingin, akulah orangnya yang akan mengemban amanah itu. Beginilah sikap kader dakwah yang brilian dalam menyambut tugasnya.

Menyikapi kenyataan ini bahwa tugas dakwah dan kepribadian kader merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dimana keduanya saling mempengaruhi. Maka perlu disadari pada seluruh kader untuk membangun dirinya agar menjadi kader-kader pilihan yang sanggup memikul tugas dakwah ini dengan hati lapang. Sehingga tugas demi tugas dapat tertunaikan dengan baik. Bila kader dakwah tidak lengah dalam masalah ini dan selalu berusaha untuk meningkatkan kepribadian dirinya dalam mengemban amanah ini maka ia dapat menaklukan dunia sebagaimana obsesi Imam Hasan Al Banna Rahimahullah. Sang Imam pernah mengungkapkan obsesinya dalam Risalahnya Kepada Pemuda, bahwa ia bisa menaklukan dunia dengan kader-kader pilihan dibawah binaannya. ‘Siapkan 12 ribu kader, aku akan bina mereka dan aku akan taklukan dunia dengan bersama mereka’.

Melalui pemahaman ini upaya untuk meningkatkan kepribadian diri dalam mengemban tugas dakwah ini menjadi perilaku harian bagi kader dakwah.

Tidak boleh ada kesempatan yang terbuang dan tidak terpakai untuk agenda ini. Agar kepribadiannya tidak melempem, tidak pula mendua tetapi kepribadian yang tangguh dan ulet dalam amal dakwah. Selayaknya setiap kader menata dirinya dengan sungguh-sungguh agar dapat merealisasikan obsesi sang Imam. Untuk itu para kader dakwah perlu menyiapkan diri agar memiliki kepribadian yang dapat menuntaskan tugas dakwah dan merealisaikannya:

1. Bina ruhil ghirah (Membangun Ruh Keghairahan)

Menyadari banyaknya tugas dakwah yang perlu diemban, kader dakwah harus membangun keghairahannya. Keghairahan untuk terus berbuat dan berjuang demi tegaknya dakwah. Sehingga semangatnya berkobar-kobar. Tidak pernah lemah sedikitpun dalam menghadapi rintangan. Tidak pernah layu dengan bergulirnya zaman. Tidak pernah gentar karena tantangan. Ia bagaikan batu karang di tengah lautan yang kokoh menghadapi terjangan ombak.

Abul ‘Ala Al Maududi mengingatkan kader-kadernya, ‘bila kalian menyambut tugas dakwah ini tidak sebagaimana sikap kalian terhadap tugas yang menyangkut urusan pribadi kalian maka dakwah ini akan mengalami kekalahan yang telak. Oleh karena itu sambutlah tugas ini dengan ghairah. Amatlah tepat taujih Abul ‘Ala Al Maududi ini bila melihat sederetan tugas dan harapan umat. Bila saja kader dakwah memahami dengan betul maka mereka akan berupaya untuk menjaga keghairahannya agar tidak pernah redup sedikitpun. Karena ia akan berakibat fatal dalam menunaikan tugas ini.

Sebaliknya jiwa yang berghairah dalam menyambut tugas-tugasnya akan mudah untuk menyelesaikannya. Ia bahkan dapat menemukan celah-celah sempit untuk menjadi peluang besar yang akan menjadi menyebab kemenangan dakwah ini. Ia tidak pernah mundur tatkala bahaya menghadang. Ia tidak lelah ketika peluh bercucuran. Yang ada dalam benaknya adalah kami siap mengembannya untuk sebuah kemenangan.

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim”.. (Ali Imran: 139 – 140).

Karena itu sepantasnya bagi kader untuk selalu berusaha meningkatkan ghairahnya melalui amalan-amalan yang disunnahkan Rasulullah SAW. sehingga ghairahnya tidak kendur. Apakah dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, mengkaji sejarah kepahlawanan Islam, membayangkan pahala dan balasan yang dijanjikan Allah SWT., bercermin dari kehidupan kader-kader daerah terpencil yang sangat bersemangat untuk menyebarluaskan dakwah ini ataupun dengan kiat-kiat lainnya. Amalan tersebut menjadi bahan bakar untuk semangatnya agar selalu bergelora.

Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid mengingatkan “gelorakan semangatmu wahai ikhwah dan jangan kendur sedikitpun marilah maju bersama kafilah dakwah ini. Siapa yang tidak lagi bersemangat maka janganlah ikut barisan kami”.

2. Tasyji’u ruhil mubadarah (Membangkitkan semangat inisiatif)

Memahami tugas dakwah yang rumit maka setiap kader hendaknya selalu membangkitkan semangat berinisiatif. Agar dapat mensikapi dengan cepat apa yang sedang dihadapi dakwah ini. Tentu dengan mengacu pada kententuan syar’i. Sehingga aktivis dakwah tidak linglung dan bingung untuk segera berbuat atas sesuatu yang perlu segera disikapi. Selayaknya seorang kader tidak pernah mati inisiatifnya. Ia selalu berinisiatif untuk membela dakwah dengan berbagai potensi yang ada pada dirinya.

Seorang pujangga mengingatkan bahwa matinya inisiatif akan menutup banyak peluang. Malah ia melihat apa yang dihadapannya menjadi momok yang menakutkan. Ia akan menjadi orang yang penakut pada sesuatu yang belum terjadi bahkan ia sudah membayangkan dengan bayang-bayang hitam yang sangat mengerikan. Umat dan dakwah ini akan gembira terhadap kader yang kaya inisiatif. Sebagaimana gembiranya orang tua pada anaknya yang berinisiatif tinggi. Sang anak menyemirkan sepatu ayahnya ketika sang ayah hendak berangkat kerja. Ia suguhkan air minum hangat untuk ayahnya yang baru tiba. Ia rapikan belanjaan ibunya ketika datang dari pasar. Ia bersihkan alat-alat masaknya dan lain sebagainya. Orang tua akan sangat senang dengan perilaku anaknya dan ia akan banggakan dihadapan saudara dan tetangganya.


Syaikh Sayid Muhammad Nuh menceritakan murabbinya Syaikh Abbas Asisi yang selalu kaya inisiatif dalam berdakwah. Beliau bukan hanya kaya akan ide dan gagasan tetapi kaya pula dengan sikap dan perbuatannya. Hingga banyak orang yang tertautkan hatinya pada dakwah karena inisiatifnya yang teramat tinggi. Ada pemuda yang tertarik pada dakwah karena ia menyebut namanya yang telah ia hafal. Ada pula orang yang berjiwa kasar menjadi pengikut dakwah lantaran ia buka dengan dialog-dialog yang menarik. Dan masih banyak lagi kisah lainnya.

Kader yang berinisiatif tidak hanya semata mengandalkan point-point buku manual melainkan ia juga dapat melakukan sesuatu dengan tepat dan benar sesuai masanya yang sedang dihadapinya. Inisiatif memang tidak lahir begitu saja. Ia selalu beriringan dengan kebiasaannya untuk berbuat. Kebiasaan berbuat dapat menerobos celah sekecil apapun untuk menemukan hal-hal baru. Oleh karena itu Allah SWT. merintahkan orang-orang beriman untuk senantiasa berbuat.

“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.(At Taubah: 105).

3. Bina ruhil mas’uliyah (Membangun jiwa tanggung jawab terhadap dakwah)

Tanggung jawab kader terhadap dakwah tidak boleh berkurang. Kader hendaknya selalu membangun rasa tanggung jawabnya setiap saat.

Berkurangnya tanggung jawab kader pada dakwah ini dapat memporak-porandakan amanah umat ini. Kader yang bertanggung jawab pada tugas tidak bisa bersantai-santai/beruncang kaki sementara kader lainnya sedang sibuk menunaikan tugas.

Jiwa tanggung jawab ini sangat dikaitkan dengan keimanan yang melekat padanya. Juga dikaitkan dengan kesertaannya menjadi umat Muhammad SAW. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,

“Bukanlah golongan kami orang yang tidak punya perhatian terhadap urusan kaum muslimin”. (Bukhari).

Sangatlah logis bila tanggung jawab terhadap dakwah ini berhubungan erat dengan kesertaannya sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Karena merekalah yang bertanggung jawab langsung terhadap kesinambungan dakwah ini.

Tersebar luas dakwah ini atau tidak ada pada pundak mereka. Mereka yang menjadi pelanjut dakwah ini telah mendekatkan dirinya dengan para Nabi. Lantaran mereka telah melaksanakan hal yang sama dilakukan para Nabi.


Kader dakwah yang bertanggung jawab pada tugas kadang tidak bisa tidur nyenyak. Ia senantiasa berpikir keras untuk untuk kemajuan dakwah. Ia merasa malu bila tidak dapat berbuat apa-apa. Ia merasa sedih bila dakwah tidak berkembang. Ia sangat senang kalau dakwah ini menggeliat dan meraih banyak pengikut. Ia risih bila meninggalkan tugas yang masih berceceran di sana-sini. Dan ia akan senantiasa siap menyongsong tugasnya. Wajarlah bila Imam
Hasan Al Banna memandang sikap kader yang tidak bertanggung jawab pada tugasnya sebagai perbuatan dosa.

Oleh karena itu kader dakwah dalam menyongsong tugas mulianya seperti pengikut Nabi Isa AS. yang setia. Merekalah kaum Hawariyun sangat peka pada tanggung jawab dan tugasnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para Hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri”. (Ali Imran: 52).

4. Tarqiyatu ruhil badzli wat tadhhiyah (Membangkitkan semangat pengorbanan)

Pengorbanan dan perjuangan sesuatu yang niscaya. Perjuangan tidak dapat dipisahkan dengan pengorbanan. Dakwah suci ini bergerak dengan deras karena pengorbanan para kadernya. Maka semangat pengorbanan harus terus hidup di hati kader dakwah agar menjadi kepribadian mereka yang sesungguhnya. Sehingga mereka akan selalu terdepan dalam pemgorbanan.

Karenanya tidak ada dalam sejarah sebuah perjuangan ideologi yang dibangun tanpa perjuangan. Maka sudah menjadi suatu keharusan untuk berkorban dengan apa yang ada padanya demi tegaknya dakwah mulia ini.

Kader-kader yang siap berkorban menjadi syarat mutlak untuk suatu kemenangan. Dengan jiwa ini jalan mencapainya menjadi mulus. Perjalanan meraih kemenangan bak tanpa hambatan. Adalah hal patut bagi seluruh kader dakwah memberikan sesuatu yang amat diperlukan dakwah ini. Ini menjadi tanda keringanan dirinya untuk berkorban. Dalam berkorban untuk dakwah tidak pernah terbetik untuk menolaknya. Bahkan sedapat mungkin memberikan apa yang sangat berharga dalam dirinya. Jiwa dan raga.

Semangat semacam inilah yang melancarkan futuhat dakwah di berbagai negeri. Termasuk ketika menaklukan Romawi. Khalid bin Walid RA. ditanya pembesar Romawi perihal kepahlawanan kaum muslimin sehingga mereka bisa menaklukkan Romawi. Panglima Khalid RA. menjawab, ‘Kami dapat berada di depan mata kalian dan menaklukkan negeri kalian karena kami datang bersama orang-orang yang cinta mati sebagaimana kalian mencintai hidup’. Tentunya pengorbanan semacam ini pengorbanan yang maksimal. Memang Allah SWT. hanya menerima pengorbanan hamba-Nya yang maksimal. Seperti dalam Firman-Nya.

“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Kabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Kabil). Ia berkata (Kabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (Al-Maidah: 27).

Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid mengingatkan bahwa dalam perjalanan dakwah ini janganlah bersikap seperti umat Nabi Musa yang duduk-duduk berdiam diri saja menunggu datangnya kemenangan dari perjuangan Nabinya. Akan tetapi berbuat banyaklah untuk jalan dakwah ini dengan senantiasa selalu berkorban dan tidak pernah kendur semangatnya untuk berkorban. Memang semestinya demikian.

Tentu saja semangat berkorban ini tidak akan kendur manakala sikap kepatuhan kader pada ajaran ini tidak berkurang secuilpun. Mereka mematuhi ketentuan yang sudah seharusnya dijalankan. Mereka mengokohkan ruh maknawiyahnya setiap saat. Mereka berada dalam stamina spiritual yang prima. Said Hawwa menegaskan bahwa pengorbanan merupakan kepatuhan dan kepatuhan adalah syarat kemenangan. Maka siapkanlah sarana-sarana kemenangan dengan meningkatkan semangat berkorban terus menerus agar kemenenagan menjadi kenyataan yang dekat.

5. Tarqiyatu ath-Thaqah adz-Dzatiyah (Meningkatkan potensi diri)

Untuk dapat melaksanakan tugas mulia ini kader dakwah mesti menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan potensi dirinya. Agar ia bisa memberikan apa saja yang dibutuhkan dakwah ini. Meningkatkan potensi diri berawal dari penggalian potensi dan penajamannya. Adalah kemestian bagi kader untuk dapat mengenali potensinya. Sehingga ia tahu betul kemampuannya selaras dengan keperluan dakwah ini.

Menyadari kedudukan potensi kader bagi kelangsungan dakwah ini amat berarti maka para kader perlu mencermati dan mempertajamnya. Karena apapun potensi yang dimilikinya sangat berguna bagi dakwah ini. Sekalipun seperti butiran pasir. Memang secara fisik sebutir pasir sangat kecil adanya.

Dan bila dibandingkan dengan material lainnya dalam sebuah bangunan terasa begitu amat sangat kecil. Tampaknya ia bukanlah unsur penentu dalam kekokohan bangunan tersebut. Betul adanya asumsi ini bila satu butir pasir saja yang berpandangan demikian. Akan tetapi jika seluruh butiran pasir beranggapan sama maka rubuhlah bangunan tersebut.

Karena itu kader dakwah tidaklah boleh memandang remeh terhadap berbagai potensi yang diberikan kader lainnya. Malah harus menghargai potensi-potensi tersebut dan menyemangati untuk berupaya terus meningkatkannya. Sebab Allah SWT. menyukai orang-orang yang dapat ikut serta dalam barisan dakwah ini dengan potensi yang diberikan-Nya.

“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (Al-Isra’: 84)

Sedapat mungkin setiap waktu yang bergulir potensi kader semakin tajam. Seiring berjalannya waktu potensi kualitas kader semakin membaik. Seperti ungkapan seorang ulama tatkala berjumpa dengan temannya menyatakan ‘tidak aku temukan dalam dirinya setiap berlalunya waktu kecuali semakin membaik kepribadiannya’. Bila kondisi ini menjadi watak dan kepribadian para kader dakwah. Tidak mustahil kemenangan ini amat sangat dekat.

Hayawiyatun Harakiyatun (Kedinamisan Gerak Dakwah)

Adalah suatu kepatutan bagi kader dakwah untuk mengkondisikan kepribadiannya sedemikian rupa. Dengannya gerak dakwah ini akan semakin dinamis. Bahkan akan semakin mulus melenggangkan badannya untuk berkembang dan tersebar luas. Penyebaran dakwah yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan pelosok wilayah. Sehingga kenikmatan dakwah ini dirasakan secara merata. Ini menjadi indikasi kedinamisannya.

Sebagaimana pertumbuhan fisik manusia yang dinamis adalah ketika seluruh organnya berkembang seimbang. Perkembangan tubuh yang imbang untuk dapat menjalani hidupnya yang semakin hari semakin menuntut kekuatan organ tubuhnya. Sehingga tidak boleh ada satu selpun dalam tubuhnya yang ngawur perkembangannya. Karena hal itu berdampak pada kesehatan dan kekuatan tubuhnya melakukan gerak hidupnya.

Adalah kewajiban kader dakwah untuk memenuhi kepribadian dirinya yang berimbas pada kedinamisan gerak dakwah ini. Dan kepribadian ini menjadi watak harian para kader. Maka mulailah berbenah diri secepat mungkin memenuhi tuntutannya. Terlebih bahwa kedinamisan dakwah ini memiliki dampak yang sangat besar. Bagaikan air yang terus mengalir. Aliran air akan menjadi suatu kekuatan dan energi kehidupan. Sebaliknya air yang diam tidak mengalir akan berakibat rusaknya susunan senyawa yang ada sehingga dapat merusak zat benda lainnya.

Kedinamisan gerak dakwah ini akan berdampak pada:

1. Isti’dadu lit tanfidz (Kesiapan dimobilisasi di setiap lini)

Kesiapan kader dakwah untuk bisa dimobilasasi bagi kemenangan merupakan dampak dari gerak dakwah yang dinamis. Keberadaan kader di berbagai lini dapat memudahkan memikul tugas yang semakin banyak. Selayaknya memang bagi Kader dakwah menyadari akan fungsi dan perannya. Sehingga ia dapat selalu siap sedia dimobilisasi dalam untuk proyek besar dakwah ini. bahkan kesiapan dimobilisasi dan berada pada seluruh lini dari dakwah ini menjadi indikasi kualitas kader. Sebagaimana ungkapan Rasulullah SAW. tentang prajurit yang baik adalah mereka yang berada pada tugasnya masing-masing. Bila ditugaskan pada barisan depan ia ada di sana. Dan bila ditugaskan di bagian belakang ia pun menjalankan tugasnya di sana dengan baik.

Berada pada posisinya masing-masing, kader dakwah tidaklah boleh gentar apalagi kecewa dan mengeluh. Sebab semua itu tidak akan bermanfaat bagi dirinya untuk menjalankan tugasnya. Melainkan ia sambut dengan hati senang gembira dan selalu bermohon kepada Allah SWT. agar Dia senantiasa memberikan kekuatan untuk menunaikan tugas tersebut. Sehingga ia akan menjadi satu barisan prajurit yang gagah perkasa menyelesaikan amanahnya.

“(Yaitu) orang-orang yang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Ali Imran: 172).

Kesiapan kader berada pada lini dakwah yang beragam karena menyadari bahwa pos-pos dakwah ini tidak boleh ada yang kosong. Kekosongan pos dakwah dapat membuka pintu kekalahan. Terlebih lagi pada pos yang sangat strategis. Cukuplah peristiwa Uhud menjadi pelajaran berharga bagi kader dakwah. Dimana pos-pos yang diringgalkan kadernya dapat menjadi peluang bagi musuh untuk mengobrak-abrik barisan kaum muslimin. Oleh karena itu apapun yang ditugaskan dakwah ini untuk menempati lini-lininya dan siap dalam keadaan dimobilisasi mesti diterima dengan antusias dan mengistijabahinya. Malah bila perlu selalu beranggapan bahwa justru disitulah letak kehidupan bagi dakwah ini.

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan”. (Al-Anfal: 24).

Meski demikian tidak menutup peluang untuk menyampaikan pendapatnya tentang lini yang paling tepat bagi dirinya. Namun yang perlu diingat adalah sikap kesiapannnya untuk dimobilisasi tidak boleh sampai hilang.

2. Taqwiyatu matanah at tanzhimiah (Mengokohkan soliditas struktural)

Gerak dakwah yang dinamis berdampak pula pada kesolidan struktural dakwah. Apalagi dengan keadaan kadernya yang selalu dalam kondisi siap sedia. Keadaan ini akan mejadikan struktural tidak akan pernah keropos. Sebab sering kali penyebab kekeroposan struktural lantaran gerak dakwah yang asal menggeliat dan kadernya yang dipenuhi dengan qadhaya internal.

Sudah dapat dipastikan bahwa kader yang selalu rebut dengan urusan internal konflik akan menggembosi perjalanan dakwah. Malah gerak dakwah ini menjadi rusuh, jalan tak beraturan dan berarah.

Umar bin Abdul Aziz RA. memerintahkan kepada seluruh jajaran panglimanya untuk mencermati para prajuritnya. Agar selalu memonitor mereka sehingga dapat mengetahui aktivitas apa yang sedang mereka lakukan. Tidak dibenarkan bagi mereka berdiam diri atau tidak dalam barisannya. Perhatian yang sedemikian rupa untuk mempersempit ruang bagi kekeroposan struktural. Karena prajurit yang tidak berada dalam barisan amal akan berpeluang menjadi perusuh.

Ketahanan struktural dapat menjadi tameng yang amat kuat melawan serangan musuh. Serangan sebesar apapun tidak akan mempan untuk menerobos masuk ke dalamnya. Ketahanan ini sekaligus melindungi prajurit yang ada di dalamnya. Oleh karena itu Allah SWT. mewanti-wanti agar selalu menjaga daya tahan struktural melalui persatuan dan kesatuan prajurit yang ada di dalamnya.tidak gaduh dengan persoalan internalnya. Tidak ribut dengan qadhaya dakhiliyahnya.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Ali Imran: 103)

3. Tawsi’atu munawarati ad da’wah (Meluasnya Manuver Dakwah)

Dampak lainnya adalah manuver dakwah semakin meluas. Ia tidak dihambat oleh urusan-urusan internal sehingga langkah geraknya semakin melebar. Apalagi misi dari dakwah ini berkembang. Maka gerakannya harus selalu berkembang baik sisi jumlah kadernya, wilayahnya, jangkauan tanggung jawabnya, tuntutan dan kebutuhannya serta sisi perkembangan lainnya
Rasulullah SAW. selalu mengamati perkembangan demi perkembangan dakwah ini dengan mendapatkan informasi dari para sahabatnya. Sehingga beliau dapat membayangkan masa-masa yang akan terjadi pada dakwah dan umatnya setelah hamasah nabawiyah(kepekaan kenabiannya) tentunya.

Paling tidak dengan kondisi kader dan struktural yang mapan tanpa hambatan yang berarti bagi dakwah ini penyebarluasan dakwah akan semakin pesat dan cepat. Sehingga dakwah ini kembali pada ashalahnya yakni miliki semua orang dari berbagai kalangan bukan hanya pada kalangan tertentu yang sangat terbatas.

Bila seluruh jajaran kader menghiasi dirinya dengan kepribadian kader dakwah sedemikian rupa dan gerak dakwah ini semakin dinamis tanpa henti atau stagnan dalam geraknya maka futuhat-futuhat dakwah ini semakin dekat. Dan pintu-pintu kemenangan itu semakin terbuka. Serta serombongan manusia akan berbondong-bondong menerimanya. Tinggal permasalahan adalah sejauh mana kemauan kader untuk menata diri dan menghiasinya dengan kepribadian tersebut. Disinilah masalahnya. Maka sejak saat ini tanamkan dalam diri kita masing-masing untuk berupaya mewujudkannya dalam diri kita. Tanpa kenal lelah dan henti. Berusahalah semaksimal mungkin semoga Allah SWT. membantu diri kita untuk mengaplikasikannya.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (An-Nur: 55)


Tuesday, November 17, 2009

Fiqh Qurban

Pengenalan

الأضحية ialah binatang ternakan yang disembelih kerana menghampiri diri kepada Allah تعالى, dikerjakanya pada hari raya adha dan tiga hari tasrik iaitu pada sebelas, dua belas, dan tiga belas bulan zulhijah.

Diberi nama dengan udhiyah kerana mengikut waktu awal ia dikerjakan iaitu waktu duhah.

Dalil

Dalil (nas) qurban sebelum datang ijmak ialah:

(فصل لربك وانحر) أى صل صلاة العيد وانحر النسك

Maka hendaklah sembahyang kamu dan menyembelih ertinya hendaklah kamu sembahyang hari raya adhah dan sembelih qurban.



Hukum

*Quban adalah sunat muakad pada orang yang merdeka dan hamba separuh dan keduanya itu mukalaf lagi cerdik (yang boleh memerentah hartanya dengan sendiri) dan dia kuasa mengerjakannya.

*Qurban sunat kifayah di atas seorang jika berbilang didalam satu rumah, dan sunat itu tertentu baginya jaka dia seorang sahaja didalam satu rumah.

*Makruh meningalkan qurban kerana ada ulama yang mewajibkannya iaitu Mazhab Hanafi mewajibkan qurban di atas mereka yang wajib zakat.

*Maksud sunat kifaya ialah apabila dikerjakan oleh seorang dalam satu rumah maka terlepas sekelian isi rumah daripada makruh.

*Qurban jadi wajib dengan sebab bernazar seperti kata seorang kerana Allah wajib atas ku qurban, atau dengan menentukan binatang dijadi qurban seperti kata seorang ini binatang quban maka jadi wajib menyembelihnya pada waktu yang dikira quban.

Binatang yang boleh dibuat qurban:

1. Unta, umurnya genap lima tahun.

2. Lembu atau kerbau, umurnya genap dua tahun.

3. Kambing, umurnya genap dua tahun.

4. Biri-biri umurnya genap setahun, tetapi jika telah gugur giginya sebelum cukup umurnya setahun, memada dibuat qurban.

*Menurut pendapat Ibnu Abbas رضي الله عنهما memada pada qurban itu dengan menumpahkan darah, sekalipun dengan menyembelih seekor ayam atau itik dan begitu juga aqiqah atas jalan qias pada qurban. Para ulama Syafieyah mengharuskan bertaklid (mengikut) dengan pendapat ini bagi mereka yang tidak mampu.

Afdal binatang yang diqurbankan itu:

1. Saekor unta bagi seorang.

2. Saekor lembu atau kerbau bagi seorang.

3. Saekor kibas atau kambing.

*Tujuh kibas atau kambing bagi seorang terlebih afdal dari seekor unta.

*Memada seekor lembu atau unta untuk tujuh orang.

*Sekiranya berlainan niat orang yang berkongsi pada seekor unta atau lembu yang disembelih, seperti seorang berniat qurban, seorang yang lain niat aqeqah dan ada yang berniat hendak jual maka mamada.

Syarat binatang qurban:

Binatang yang dibuat qurban hendaklah jangan ada aib (cedera) yang mengurangkan dagingnya.

Aib (cedera/cacat) yang mengurangkan daging:

1. Binatang yang terpotong telinga walaupun sedikit.

2. Binatang yang tiada telinga.

3. Binatang yang terpotong ekor.

4. Binatang yang terpotong lidah.

5. Binatang yang gila yang tidak makan rumput dan jadi kurus.

6. Binatang yang berkudis jika sedikit sekalipun, kerana binasa dagingnya.

7. Binatang yang baru beranak, kerana tidak elok dagingnya.

8. Binatang yang sangat kurus.

9. Binatang yang buta sebelah.

10. Binatang yang buta dua mata.

11. Binatang yang nyata sakitnya.

12. Binatang yang sangat tempang, sekalipun jadi tempang dengan sebab hendak dibaringkannya kerana hendak sembelih.

13. Binatang yang bunting kerana kurang dagingnya, ini yang muktamad yang diambil pada Majmuk. Menurut Ibnu Rifa’h “memada buat qurban dengan binatang yang bunting krana kurang dagingnya diganti oleh anak yang di dalam perut” pandapat ini ditolak oleh mereka yang berpendapat tidak memadai berqurban dengan binatang yang bunting kerana terkadang yang dikandung itu darah bukan daging dan lagi bertambah daging tidak boleh menganti akan cacat kerana tidak memadai berqurban binatang yang tempang lagi gemuk.

Aib/cedera /cacat yang tersebut tidak memada buat qurban tetapi wajib menyembelih pada watu qurban akan binatang yang dinazarkan yang ada aib tersebut atau yang tidak cukup umur sepertti berkata seorang “wajib atas ku qubankan kambing ini” sedankan ianya ada aib yang tersebut.

Niat Qurban

*Disyaratkan berniat pada ketika sembelih.

*Sekiranya orang yang hendak melakukan qurban mewakilkan sembelih kepada orang lain maka hendaklah dia berniat pada ketika menyerahkan binatang qurban kepada wakilnya dan memada niatnya itu sekalipun wakilnya tidak tahu bahawa binatang yang disembelih itu binatang qurban. Boleh juga orang yang berqurban berniat pada ketika wakil menyembelih.

*Harus serahkan niat qurban kepada orang islam yang mumayiz sama ada dia orang yang menyembelih atau tidak.

*Tidak disyaratkan niat qurban pada binatang qurban yang dinazarkan tetapi sunat niat.

Membahagi daging qurban

*Wajib bersedekah daging qurban yang mentah kadar yang dinamakan sedekah kepada fakir miskin dan harus diambil yang lebihnya untuk dirinya.

*Wajib bersedekah sekelian daging yang mentah, kulit dan tanduk binatag qurban yang dinazarkan.

*Orang yang berquba nazar haram memakan daging qurbannya begitu juga orang yang di bawah tangungannya.

* Sunat orang yang berqurban memakan sedikit daging daripada qurban sunat.

*Orang yang berqurban haram lagi tidak sah menjual suatu dari daging, bulu, tulang dan lainnya.

*Haram dijadikan daging qurban atau juzuk yang lain sebagai pengupah tukang sembelih.

Buat qurban untuk orang lain

*Tidah sah buatkan qurban untuk orang hidup dengan ketiadaan izin dari yang empunya diri.

*Harus wali (bapa atau datuk sebelah ayah) buat qurban untuk maulinya (anak atu cucu) dengan harta wali tidak harus dengan harta kanak-kanak.

*Tidak sah buat qurban bagi orang yang mati yang tida berwasiat supaya dibuat qurba baginya, adapun jika dia berwasiat sah dibuat qurban untuknya.

Thursday, November 12, 2009

Membangun Keperibadian Islami


Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan paling mulia dibanding dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Allah SWT berfirman,

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.” (QS. Al Isra: 70)

Urgensi Kepribadian Islami

Menjadi pribadi yang Islami merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan dalam agama Islam. Hal ini karena Islam itu tidak hanya ajaran normatif yang hanya diyakini dan dipahami tanpa diwujudkan dalam kehidupan nyata, tapi Islam memadukan dua hal antara keyakinan dan aplikasi, antara norma dan perbuatan , antara keimanan dan amal saleh. Oleh sebab itulah ajaran yang diyakini dalam Islam harus tercermin dalam setiap tingkah laku, perbuatan dan sikap pribadi-pribadi muslim.

Memang, setiap jiwa yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Tapi bukan berarti kesucian dari lahir itu meniadakan upaya untuk membangun dan menjaganya, justru karena telah diawali dengan fitrah itulah, jiwa tersebut harus dijaga dan dirawat kesuciannya dan selanjutnya dibangun agar menjadi pribadi yang islami.



Ruang Lingkung Kepribadian Islami

Sisi yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sebagai berikut:

A. Ruhiyah (Ma’nawiyah)

Aspek ruhiyah adalah aspek yang harus mendapatkan perhatian khusus oleh setiap muslim. Sebab ruhiyah menjadi motor utama sisi lainnya, hal ini bisa kita simak dalam firman Allah SWT di Surat Asy-Syams : 7-10

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sungguh sangat merugi orang yang mensucikannya dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya,” (QS. Asy Syams: 7-10).

Dan dalam surat Al Hadid ayat 16:

Belumkah datang waktunya untuk orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka berdzikir kepada Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab di dalamnya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik ” QS. Al-Hadid:16).

Ayat-ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya untuk senantiasa menjaga ruhiyah, kerugian yang besar bagi orang yang mengotorinya dan peringatan keras agar kita meninggalkan amalan yang bisa mengeraskan hati. Bahkan tarbiyah ruhiyah adalah dasar dari seluruh bentuk tarbiyah, menjadi pendorong untuk beramal saleh dan dia juga memperkokoh jiwa manusia dalam menyikapi berbagai problematika kehidupan.

Aspek-aspek yang sangat terkait dengan ma’nawiyah seseorang adalah:

a. Aspek Aqidah. Ruhiyah yang baik akan melahirkan aqidah yang lurus dan kokoh, dan sebaliknya ruhiyah yang lemah bisa menyebabkan lemahnya aqidah. Padahal aqidah adalah suatu keyakinan yang akan mewarnai sikap dan tingkah laku seseorang. Oleh sebab itu kalau ingin aqidahnya terbangun dengan baik maka ruhiyahnya harus dikokohkan. Jadi ruhiyah menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim karena dia akan mempengaruhi bangunan aqidahnya.

b. Aspek akhlaq. Akhlaq adalah bukti tingkah laku dari nilai yang diyakini seseorang. Akhlaq merupakan bagian penting dari keimanan. Akhlaq juga salah satu tolok ukur kesempurnaan iman seseorang. Terawatnya ruhiyah akan membuahkan bagusnya akhlaq seseorang. Allah swt dalam beberapa ayat senantiasa menggandengkan antara iman dengan berbuat baik. Rasulullah saw pun ketika ditanya tentang siapakah yang paling baik imannya ternyata jawab Rasulullah saw adalah yang baik akhlaqnya (”ahsanuhum khuluqan”)

أي المؤمنين افضل إيمانا ؟ قال احسنهم خلقا. رواه ابو داود والترمذى والنسائ والحاكم.

“Mukmin mana yang paling baik imannya? Jawab Rasulullah ” yang paling baik akhlaqnya” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)

Bahkan diutusnya Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- pun untuk menyempurnakan akhlaq manusia sehingga menjadi akhlaq yang islami

َ إًَِنما بعثت لأتمم مكا رم الأخلاق

Tolok ukur dan patokan baik dan tidaknya akhlaq adalah al-Qur’an. Itulah sebabnya akhlaq keseharian Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- merupakan cerminan dari Al-Qur’an yang beliau yakini. Hal ini terbukti dari jawaban Aisyah ra ketika ditanya tentang bagaimana akhlaq Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- , jawab beliau “Akhlaq Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- adalah al-Qur’an.

كان خلقه القرآن

c. Aspek tingkah laku. Tingkah laku adalah cerminan dari akhlaq yang melekat pada diri seseorang….

B. Fikriyah (’Aqliyah)

Kepribadian Islami juga ditentukan oleh sejauh mana kokoh dan tidaknya aspek fikriyah. Kejernihan fikrah, kekuatan akal seseorang akan memunculkan amalan, kreativitas dan akan lebih dirasa daya manfaat seseorang untuk orang lain. Fikrah yang dimaksud meliputi:

a. Wawasan keislaman. Sebagai seorang muslim menjadi keniscayaan bagi dia untuk memperluas wawasan keislaman. Sebab dengan wawasan keislaman akan memperkokoh keyakinan keimanan dan daya manfaat diri untuk orang lain.

b. Pola pikir islami. Pola pikir islami juga harus dibangun dalam diri seorang muslim. Semua alur berpikir seorang muslim harus mengarah dan bersumber pada satu sumber yaitu kebenaran dari Allah swt. Islam sangat menghargai kerja pikir ummatnya. Di dalam al-Qur’an pun sering kita jumpai ayat ayat yang menganjurkan untuk berpikir: “afala ta’qiluun, afala tatafakkaruun, la’allakum ta’qiluun, la’allakum tadzakkaruun,”

افلا تعقلون ,أفلا تذكرون, افلا تتفكرون, لعلكم تعقلون,لعلكم تذكرون

Seorang muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya. Allah mewujudkan fenomena alam untuk dipikirkan, beraneka macamnya tingkah laku manusia sampai adanya aneka pemikiran dan pemahaman manusia hendaknya menjadi pemikiran seorang muslim. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa tujuan berpikir tidak lain adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah –subhânahu wa ta`âlâ- bukan sebaliknya.

c. Disiplin (tepat) dan tetap (tsabat) dalam berislam. Sungguh kehidupan ini tidak terlepas dari ujian, rintangan dan tantangan serta hambatan. Ujian tersebut tidak akan berakhir sebelum nafasnya berakhir. Oleh sebab itulah untuk menghadapinya perlu tsabat dalam berpegang pada syariat Allah swt.

“dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99)

Di surat Ali Imran: 102 Allah SWT menjelaskan,

“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu sebenar-benar taqwa. Dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102)

Begitu pentingnya tsabat dijalan Allah, sampai Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- mengajarkan do’a kepada ummatnya, sebagai berikut:

اللهم يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك (رواه الترمذى)

Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, kokohkanlah hati-hati kami untuk tetap berada pada agamaMu “

C. Amaliyah (Harokiyah)

Di antara sisi yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sisi amaliyahnya. Amaliyah harakiah yang merubah kehidupan seorang mukmin menjadi lebih baik. Hal ini penting sebab amaliyah adalah satu di antara tiga tuntutan iman dan Islam seseorang. Tiga tuntutan tersebut adalah: al-iqror bil- lisan (ikrar dengan lisan), at-tashdiq bil-qalb ( meyakini dengan hati), dan al-amal bil jawarih (beramal dengan seluruh anggota badan). Jadi tidak cukup seseorang menyatakan beriman tanpa mewujudkan apa yang diyakininya dalam bentuk amal yang nyata.

“Maka katakanlah “beramallah kamu niscaya Allah dan RasulNya serta orang-orang beriman akan melihat amalanmu itu. Dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. at-Taubah: 105)

Umat Islam dituntut oleh Allah –subhânahu wa ta`âlâ- untuk menunaikan sejumlah amal, baik yang bersifat individual maupun yang kolektif bahkan kewajiban yang sistemik. Kewajiban individual akan lebih khusyu’ dan lebih baik pelaksanaannya jika ditunjang dengan sistem yang kondusif. Shalat, puasa , zakat dan haji misalnya akan lebih baik dan lebih khusyu’ kalau dilaksanakan di tengah suasana yang aman tenteram dan kondusif. Apalagi kewajiban yang bersifat sistemik seperti dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad dsb, mutlak memerlukan ketersediaan perangkat sistem yang memungkinkan terlaksananya amal tersebut.

Pentingnya amaliyah harakiah dalam kehidupan seorang mukmin laksana air. Semakin banyak air bergerak dan mengalir semakin jernih dan semakin sehat air tersebut. Demikian juga seorang muslim semakin banyak amal baiknya, akan semakin banyak daya untuk membersihkan dirinya, sebab amalan yang baik bisa menjadi penghapus dosa. Simaklah QS. Huud: 114

“Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam, sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan yang buruk (dosa), itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. (QS. Huud: 114)

Ada sedikitnya tiga alasan kenapa seorang harus beramal:

1. Kewajiban diri pribadi.

Sebagai hamba Allah tentunya harus menyadari bahwa dirinya diciptakan bukan untuk hal yang sia-sia. Baik jin dan manusia Allah ciptakan untuk tujuan yang amat mulia yaitu untuk beribadah, menghamba kepada Allah –subhânahu wa ta`âlâ-. Amalan adalah bentuk refleksi dari rasa penghambaan diri kepada Dzat yang mencipta.

Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah” (QS. Adz Dzaariyaat: 56)

Di samping itu pertanggungjawaban di depan mahkamah Allah nanti bersifat individu. Setiap individu akan merasakan balasan amalan diri pribadinya.

“Dan bahwasanya manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” (QS. an-Najm: 39-41).

2. Kewajiban terhadap keluarga.

Keluarga adalah lapisan kedua dalam pembentukan ummat. Lapisan ini akan memiliki pengaruh yang kuat baik dan rusaknya sebuah ummat. Oleh sebab itulah seseorang dituntut untuk beramal karena terkait dengan kewajiban dia membentuk keluarga yang Islami, sebab tidak akan terbentuk masyarakat yang baik tanpa melalui pembentukan keluarga yang baik dan islami.

Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim :6)

Setiap muslim seharusnya mampu membentuk keluarga yang berkhidmat untuk Islam, seluruh anggota keluarga terlibat dalam amal islami di seluruh bidang kehidupan.

3. Kewajiban terhadap dakwah.

Beramal haraki bagi seorang muslim bukan hanya atas tuntutan kewajiban diri dan keluarganya saja, akan tetapi juga karena tuntutan dakwah. Islam tidak hanya menuntut seseorang saleh secara individu tapi juga saleh secara sosial.

dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah:71)

“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Ma’ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

Juga di dalam surat Fushshilat ayat 33:

“siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33)

Allahu a’lam.

Oleh : Team Kajian Manhaj Tarbiyyah Dakwatuna.

Adakah Wajib Berpegang Dengan Mazhab & Bolehkah Berpindah-Pindah Mazhab


Terima kasih kepada saudara yang bertanya tentang perkara ini. Ini juga di antara perkara yang sering dibincangkan oleh masyarakat sekarang. Pada zaman wujudnya ulama terdahulu, perkara sebegini tidaklah menjadi masalah. Malah para sahabat baginda sallallahu alaihi wasallam yang tidak sampai ilmunya ke tahap ijtihad maka mereka juga mengikut para sahabat yang lain yang sampai ke tahap tersebut tanpa berlaku perbalahan. Tetapi yang menjadi keajaiban bagi kita pada zaman yang penuh dengan kekurangan ilmu pengetahuan walaupun hebat dan canggih dalam teknologi, boleh timbul permasalahan sebegini. Mengapa boleh berlaku sebegini? Jawapannya mudah, kerana sudah tidak yakin dengan para ulama terdahulu dan merasakan diri sudah layak sebaris dengan para ulama mujtahid.Malah dipandang rendah kepada golongan yang bertaqlid kepada sesuatu mazhab.

Sebelum melangkah lebih jauh, sebaiknya kita terangkan apakah yang dimaksudkan dengan taqlid. Taqlid menurut ahli bahasa ialah ikatan yang diikat pada tengkuk. Manakala menurut istilah para ulama Usul Fiqh , terdapat dua maksud padanya:

Pertama: Taqlid ialah beramal dengan pendapat seseorang dengan keadaan pendapat tersebut tidak dibinakan di atas hujah-hujah yang diletakkan oleh syarak. Ini tidaklah dibenarkan oleh syarak untuk mengikutinya.

Kedua: Taqlid ialah beramal dengan pendapat ulama mujtahid tanpa kita mengetahui sumber pengambilan dalilnya secara lengkap dan terperinci. Ini sangat-sangat dituntut oleh syarak malah diwajibkan kepada sesiapa yang tidak mampu untuk mencari semua dalil.

Menurut Syeikh al-Allamah Ali Jumaah hafizahullah di dalam kitabnya البيان : Apa yang kita maksudkan dengan ((tanpa mengetahui sumber pengambilan secara lengkap dan terperinci)) ialah mengetahui cara-cara untuk mengeluarkan (mengistinbatkan) secara jelas hukum-hakam tersebut seperti yang dilakukan oleh mujtahid.


Siapakah mujtahid?Apakah syarat-syarat untuk meletakkan seseorang tersebut sebagai mujtahid. Di antara syarat-syarat mujtahid ialah:

1. Mengetahui secara terperinci hukum-hakam fiqhiyyah sama ada hukum-hakam yang telah diterangkan di dalam kitab-kitab fiqh, mengetahui dalil-dalilnya seperti yang diterangkan di dalam kitab usul fiqh, mengetahui juga tentang khilaf(perbezaan pendapat) yang berlaku di dalam masalah furu’(cabang ilmu) di antara para sahabat atau tabi’en dan mengetahui juga berkenaan dengan pendapat yang dipegang di dalam mazhab.

2. Seorang mujtahid perlu menguasai dan memiliki perkara-perkara yang diperlukan untuk mengeluarkan hukum. Al-Imam Ibn Qawan al-Syafie rahimahullah (889H) menyebutkan di dalam kitabnya التحقيقات في شرح الورقات : Antara perkara yang perlu dikuasai oleh seorang mujtahid ialah ilmu nahu(tatabahasa arab),ilmu bahasa arab(makna bagi sesuatu bahasa) , termasuk ilmu balaghah (bayan, badi’e dan ma’ani). Al-Imam al-Syatibi rahimahullah lebih berat di dalam meletakkan syarat-syarat sebegini.Menurutnya, seseorang mujtahid tersebut perlulah menguasai ilmu nahu seumpama Sibawaih (ulama yang pakar dalam ilmu nahu suatu ketika dahulu) dan mengetahui tentang khilaf ulama seumpama al-Imam Syafie radhiyallahu anhu. Jika kita ingin mengikut pendapat yang disebutkan oleh al-Imam Syatibi rahimahullah maka sudah tentu amat sukar untuk kita temui mujtahid pada masa sekarang.

3. Seorang mujtahid juga perlu menguasai ilmu Rijal(ilmu tentang perawi hadis). Maksudnya mengetahui martabat seorang perawi tersebut sama ada boleh digunakan untuk berhujah atau tidak. Menurut Imam Ibn Qawan rahimahullah, jika seseorang tersebut hanya berpandukan tentang sahih atau tidak sesebuah hadis tersebut berdasarkan apa yang ditetapkan oleh al-Imam Bukhari, Muslim dan lain-lain ulama hadis maka ia juga dikira bertaqlid kepada para imam tersebut. Sedangkan para mujtahid dilarang mengikut pendapat orang lain di dalam masalah ini. Jadi perlulah mereka juga untuk menguasai ilmu ini dengan mengkaji sendiri masalah tersebut.

4. Mestilah seorang mujtahid tersebut menguasai ilmu berkenaan tafsir al-Quran dan ilmu-ilmu berkaitan dengannya. Seperti mengetahui tentang Nasikh dan Mansukh, Mantuq dan Mafhum, Khas dan Am , Mubayyan dan Mujmal, Muqayyad dan Mutlaq. Mereka juga perlu menguasai ilmu asbab nuzul (sebab penurunan ayat) dan asbab wurud (sebab dilafazkan hadis).
Jika kita perhatikan syarat-syarat mujtahid yang diletakkan oleh para ulama, maka tentu kita boleh berfikir dengan waras dan menilai kemampuan diri kita sendiri. Menurut Syeikh al-Allamah Atiyyah Saqr rahimahullah, jika seseorang tersebut mampu untuk mencari dan mengeluarkan dalil dengan sendiri (berdasarkan syarat yang telah diletakkan) maka tidak perlulah baginya untuk mengikut mana-mana mazhab. Malah haram baginya mengikut mazhab yang lain.

Persoalannya, adakah kita telah sampai tahap tersebut? Jika telah sampai seperti yang diperolehi oleh al-Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafie, Imam Ahmad Bin Hambal , Abu Thaur, Sufyan al-Thauri, Sufyan bin Uyaynah, Daud al-Zhohiri, al-Auza’ie dan lain-lain maka silakan untuk berijtihad. Saya bukan mencabar, cuma mohon untuk menilai kemampuan diri kita. Ini kerana terlalu banyak orang yang mengaku tidak perlu untuk mengikut mazhab hanya kerana mendengar perkataan sebahagian guru-guru mereka yang belajar tanpa manhaj supaya tidak perlu mengikut mazhab dan boleh untuk berijtihad dengan hanya mempelajari kitab Subulussalam.Pelik kan? Tapi inilah hakikatnya sekarang bilamana seorang tersebut merasakan dirinya sudah sampai ke peringkat yang tertinggi.

Syeikh al-Allamah Ali Jumaah hafizahullah ada menyebutkan beberapa tohmahan yang diberikan oleh golongan yang tidak mahu bermazhab.Antaranya ialah:

TOHMAHAN PERTAMA

Dalil yang wajib kita ikuti ialah al-Quran dan Sunnah bukannya pendapat para ulama mazhab.

JAWAPAN

Apa yang disebutkan oleh golongan sebegini juga sebenarnya sudah menyalahi maksud sebenar dalil. Dalil bukanlah hanya semata-mata al-Quran dan Sunnah.

Ijma’, Qiyas, Istihsan, Uruf, dan lain-lain juga merupakan dalil yang digunakan oleh para ulama.Golongan yang memahami bahawa dalil hanyalah al-Quran dan Sunnah sebenarnya telah menyempitkan kefahaman tentang dalil itu sendiri. Al-Quran dan Sunnah adalah sumber pengambilan hukum yang dilakukan oleh seseorang mujtahid tersebut.

Pendapat para ulama mazhab pula bukanlah menyalahi dan membelakangi al-Quran dan Sunnah itu sendiri, malah pendapat yang dikeluarkan oleh mereka merupakan hasil daripada kefahaman mereka tentang sesuatu ayat dan hadis tersebut. Berpegang dengan pendapat para ulama mazhab bukanlah bermaksud meninggalkan kalam Allah dan RasulNya, bahkan jika kita berpegang dengan pendapat para ulama mazhab maka secara langsung kita telah berpegang dengan al-Quran dan Sunnah. Ini kerana para ulama mazhab lebih mengetahui tentang syarat pengambilan hukum dan sebagainya berbanding kita.(saya cuma mengambil secara ringkas pendapat yang disebutkan oleh Syeikhuna Ali Jumaah hafizahullah. Pendapat yang saya letakkan disini rasanya sudah mencukupi bagi sesiapa yang mencari kebenaran.Jika ingin mengetahui kedudukan mujtahid maka perlulah melihat semula syarat-syarat mujtahid yang telah saya letakkan sebelum ini).

TOHMAHAN KEDUA

Kami melihat seseorang yang bertaqlid kepada seorang imam tersebut tidak akan meninggalkan mazhabnya walaupun dia menjumpai sebuah hadis yang bersalahan dengan pendapat imam tersebut. Ini seolah-olah mendahului pendapat imam lebih daripada Allah dan RasulNya.

JAWAPAN

Al-Imam Kairanawi rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya فو ائد في علوم الفقه :

“Pendapat sebegini keluar berdasarkan sangkaan kamu yang salah dan pegangan yang batil(iaitu mengatakan bahawa pendapat imam didahulukan berbanding kalam Allah dan RasulNya).Sedangkan perkara sebenar bukanlah seperti yang kamu fikirkan.



Bilamana kita melihat berlakunya perbezaan di antara zahir kalam Allah dan RasulNya dengan pendapat Ulama Mazhab , dua perkara pokok yang penting perlu diperhatikan:

Pertama: Kita mengetahui tentang maksud sebenar kalam Allah dan RasulNya.

Kedua: Kita mengetahui bahawa Kalam Allah dan RasulNya bertentang dengan pendapat Imam Mazhab.

Jika kita memerhatikan kedua-dua perkara di atas dengan teliti maka kita menyedari bahawa kedua-dua perkara tersebut tidak terdapat pada seorang Muqallid(orang yang mengikut mazhab dan tidak sampai kepada tahap mujtahid).Ini kerana ilmu sebegini memerlukan kepada pencarian dalil. Muqallid hakikatnya tidak mampu untuk melakukan sedemikian. Jika hakikatnya sedemikian, bagaimana mungkin seorang muqallid tersebut boleh menghukumkan bahawa Imamnya telah menyalahi hukumyang diletakkan Allah dan RasulNya?.

Hasil perbincangan ini ialah: Seorang muqallid tersebut tidak meninggalkan pendapat imamnya yang bersalahan dengan zahir Hadis dan sebagainya bukanlah kerana dia (muqallid) mengatakan bahawa pendapat Imam tersebut lebih benar daripada Kalam Allah dan RasulNya(tiada seorang ulama pun mengatakan sedemikian) bahkan hanyalah kerana dia sendiri tidak pasti adakah benar-benar Imam tersebut menyalahi Allah dan RasulNya( mustahil seorang Imam tersebut mengeluarkan sesuatu hukum dengan hawa nafsunya, melainkan setelah kajian terperinci dan syarat seorang mujtahid tersebut telah dipenuhi olehnya, barulah seorang Imam tersebut mengeluarkan pendapatnya).

TOHMAHAN KETIGA

Mengikut pendapat para ulama mazhab sendiri sebenarnya telah menyalahi apa yang ditunjukkan oleh mereka(Imam-imam mazhab).Mereka sendiri melarang mengikut pendapat mereka.Lebih-lebih lagi jika pendapat mereka bersalahan dengan hadis sahih.Jelas di sebut oleh para ulama Mazhab: إذا صح الحديث فهو مذهبي maksudnya: (Jika sah sesebuah hadis tersebut maka itulah mazhabku)

JAWAPAN

Kata Syeikhuna Ali Jumaah hafizahullah: Dakwaan yang mengatakan bahawa para ulama mazhab melarang untuk mengikut mazhab adalah satu dakwaan yang ternyata salah dan sesat. Tiada seorang ulama mazhab pun mengatakan sedemikian. Kalau mereka benar-benar mengatakan demikian, maka mengikut kepada pendapat Para Imam (supaya tidak bertaqlid dengan mereka) juga hakikatnya adalah taqlid itu sendiri( dalam keadaan tidak sedar).

Kamu mengatakan tidak boleh mengikut pendapat Imam Mazhab,tiba-tiba kamu mengikut juga salah satu pendapat mereka (iaitu supaya tidak bertaqlid-seperti yang kamu katakan) maka hakikatnya kamu juga bertaqlid.Bagaimana boleh dilarang taqlid sedangkan kamu sendiri bertaqlid dalam keadaan kamu tidak sedar?

Ini jelas berlaku pertentangan di dalam pendapat kamu sendiri.(Sekejap mengatakan tidak boleh taqlid kemudian dalam masa yang sama kamu juga bertaqlid dengan pendapat Imam tersebut).
Kalaulah benar sekalipun dakwaan tersebut, maka sebenarnya larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang telah sampai kepada peringkat ahli di dalam ijtihad(memenuhi syarat yang saya sebutkan sebelum ini).

Berkenaan adakah boleh berpindah-pindah mazhab akan saya jawab pada keluaran akan datang. Diharap bersabar menantikan jawapannya.

Rujukan:

1. البيان لما يشغل الأذهان oleh Syeikhuna Ali Jumaah Hafizahullah

2. التحقيقات في شرح الورقات oleh Al-Imam Hussain bin Ahmad al-Kailani al-Syafie al-Makki (Ibn Qawan ) Rahimahullah. Cetakan Darul Nafa’is.

MOHD NAZRUL ABD NASIR,
RUMAH KEDAH HAYYU 10,
KAHERAH MESIR

www.nazrulnasir.blogspot.com